Makanan atau rokok? Mana yang Anda pilih? Penelitian dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyebutkan, hampir separuh orang miskin di Indonesia rela kelaparan demi menghisap nikotin.
Indonesia adalah surga bagi para perokok. Satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak menandatangani kesepakatan World Health Organizations atau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghentikan kebiasaan merokok.
Industri tembakau lokal menyediakan ratusan ribu lapangan kerja dan pajak dari rokok menyumbang 10-30 persen pendapatan pemerintah.
Seperti yang dilaporkan Regie Situmorang, dan dibacakan Vitri Angreni.
Abe mengamen dengan gitarnya di dalam bus yang penuh sesak di Jakarta Pusat.
Selesai menyanyi, ia mengedarkan kantong uang pada para penumpang. Sehari, ia bisa mengantongi 20 ribu rupiah dari pekerjaannya ini.
Setengahnya ia gunakan untuk membeli rokok.
“Aku ngerokok setengah bungkus, 4500 deh sehari. Tapi kalo buat temen temen yang lain ada juga yang sebungkus sehari. Penghasilanku nga banyak jadi hanya di hari baik saja aku makan. Uangnya pertama-tama untuk beli rokok, lalu bayar sewa baru untuk makan.”
Abe merokok sejak usia 18 tahun.
Bermula dari ingin tahu, sampai ketagihan seperti sekarang. Abe mengaku, kalau tak merokok rasanya lemas.
Ridhu, 17 tahun, bekerja sebagai kuli pulung di sebuah lapak barang bekas. Ia mendapat upah 4500 rupiah sehari. Setengahnya ia belanjakan untuk membeli rokok.
“Merokok adalah segalanya bagi remaja laki-laki seperti saya. Merokok bisa menghilangkan stres bahkan lebih dari pacar. Rokok itu segalanya, karena rokok itu bisa ngilangin jenuh.”
Orang paling miskin sekali pun rela berlapar-lapar demi bisa merokok.
Penelitian dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyebutkan, 40 persen perokok di Indonesia berasal dari kelompok berpenghasilan kecil.
Dan yang lebih memprihatinkan adalah usia perokok di Indonesia makin muda.
Diperkirakan 78 persen perokok mulai di usia 19 tahun.
“Sekarang ada 30 persen perokok Indonesia yang berusia antara 5-9 tahun. Ini sangat mengerikan.”
Imam Prasodjo, sosiolog dari Universitas Indonesia adalah penyeru anti perokok yang blak- blakan.
Suaranya seakan tenggelam seiring kondisi Indonesia yang menjadi surga para perokok.
Harga rokok di Indonesia yang paling murah. Hanya dengan 10 ribu rupiah, Anda bisa mendapatkan sebungkus rokok, bahkan bisa beli hanya beberapa batang dengan harga lebih murah.
Di warung pinggir jalan di Jakarta Pusat, anak-anak dan remaja membeli rokok. Tak ada batasan usia pembeli. Seorang anak yang berusia sekitar lima tahun mengatakan membeli rokok untuk ayahnya. Dibungkus rokok ada tulisan kecil berisi peringatan yang berbunyi rokok dapat menyebabkan kanker, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.
Namun, di atas warung itu ada papan iklan besar yang memuat iklan pertandingan sepak bola nasional dan merek rokok lokal terkenal.
“Ini akibat perangkap yang dibuat industri. Perokok adalah korban. Mereka adalah korban industri, yang bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan. Mereka mensponsori acara olahraga, kebudayaan bahkan kegiatan pendidikan. Banyak sekolah yang dibangun atau disponsori perusahaan rokok. Uang membuat mereka jadi kelompok lobi sangat kuat. Itu sebabnya mereka punya akses ke partai politik bahkan presiden.”
Pada 2007, DPR mengajukan Rancangan Undang-undang Pengendalian Dampak Rokok Tembakau terhadap Kesehatan. Tapi RUU Rokok ini ditolak.
Pemerintah juga menolak meratifikasi Konvensi Internasional Pengendalian Tembakau (FTCT) yang bertujuan menurunkan konsumsi tembakau.
Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia yang melakukannya.
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan, Yusharmen mengatakan mereka coba mengajukan beberapa aturan kesehatan tapi gagal.
“Kita punya regulasi industri rokok termasuk peringatan kesehatan di bungkusnya. Yang hilang adalah soal sanksi dan penegakan hukum. Tapi banyak pemerintah daerah di Indonesia termasuk Jakarta punya aturan sendiri soal merokok untuk menjaga kesehatan masyarakat. Sejauh ini, Departemen Kesehatan prihatin karena merokok hanya buang-buang uang.”
Kenyataannya, industri rokok adalah bisnis triliyunan rupiah yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Pajak rokok juga menyumbang 10-30 persen pendapatan negara.
Tapi gerakan anti rokok makin lama kian dapat dukungan. Baru-baru ini, Philip Morris International unit Indonesia terpaksa menarik alat-alat promosinya untuk konser Alicia Keys setelah komplain para penyeru gerakan anti rokok.
Beberapa bulan lalu, rumah sakit umum di Jakarta Pusat ini jadi daerah bebas asap rokok. Dan sekarang sebuah tanda “Dilarang Merokok” terpampang di depannya.
Tapi tak jauh dari rumah sakit itu, puluhan warung menjual rokok pada warga miskin kota yang menyia-nyiakan uang dan kesehatan mereka. Sebuah penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, 10 tahun mendatang, 25 persen laki-laki Indonesia akan meninggal karena merokok.
Industri tembakau lokal menyediakan ratusan ribu lapangan kerja dan pajak dari rokok menyumbang 10-30 persen pendapatan pemerintah.
Seperti yang dilaporkan Regie Situmorang, dan dibacakan Vitri Angreni.
Abe mengamen dengan gitarnya di dalam bus yang penuh sesak di Jakarta Pusat.
Selesai menyanyi, ia mengedarkan kantong uang pada para penumpang. Sehari, ia bisa mengantongi 20 ribu rupiah dari pekerjaannya ini.
Setengahnya ia gunakan untuk membeli rokok.
“Aku ngerokok setengah bungkus, 4500 deh sehari. Tapi kalo buat temen temen yang lain ada juga yang sebungkus sehari. Penghasilanku nga banyak jadi hanya di hari baik saja aku makan. Uangnya pertama-tama untuk beli rokok, lalu bayar sewa baru untuk makan.”
Abe merokok sejak usia 18 tahun.
Bermula dari ingin tahu, sampai ketagihan seperti sekarang. Abe mengaku, kalau tak merokok rasanya lemas.
Ridhu, 17 tahun, bekerja sebagai kuli pulung di sebuah lapak barang bekas. Ia mendapat upah 4500 rupiah sehari. Setengahnya ia belanjakan untuk membeli rokok.
“Merokok adalah segalanya bagi remaja laki-laki seperti saya. Merokok bisa menghilangkan stres bahkan lebih dari pacar. Rokok itu segalanya, karena rokok itu bisa ngilangin jenuh.”
Orang paling miskin sekali pun rela berlapar-lapar demi bisa merokok.
Penelitian dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyebutkan, 40 persen perokok di Indonesia berasal dari kelompok berpenghasilan kecil.
Dan yang lebih memprihatinkan adalah usia perokok di Indonesia makin muda.
Diperkirakan 78 persen perokok mulai di usia 19 tahun.
“Sekarang ada 30 persen perokok Indonesia yang berusia antara 5-9 tahun. Ini sangat mengerikan.”
Imam Prasodjo, sosiolog dari Universitas Indonesia adalah penyeru anti perokok yang blak- blakan.
Suaranya seakan tenggelam seiring kondisi Indonesia yang menjadi surga para perokok.
Harga rokok di Indonesia yang paling murah. Hanya dengan 10 ribu rupiah, Anda bisa mendapatkan sebungkus rokok, bahkan bisa beli hanya beberapa batang dengan harga lebih murah.
Di warung pinggir jalan di Jakarta Pusat, anak-anak dan remaja membeli rokok. Tak ada batasan usia pembeli. Seorang anak yang berusia sekitar lima tahun mengatakan membeli rokok untuk ayahnya. Dibungkus rokok ada tulisan kecil berisi peringatan yang berbunyi rokok dapat menyebabkan kanker, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.
Namun, di atas warung itu ada papan iklan besar yang memuat iklan pertandingan sepak bola nasional dan merek rokok lokal terkenal.
“Ini akibat perangkap yang dibuat industri. Perokok adalah korban. Mereka adalah korban industri, yang bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan. Mereka mensponsori acara olahraga, kebudayaan bahkan kegiatan pendidikan. Banyak sekolah yang dibangun atau disponsori perusahaan rokok. Uang membuat mereka jadi kelompok lobi sangat kuat. Itu sebabnya mereka punya akses ke partai politik bahkan presiden.”
Pada 2007, DPR mengajukan Rancangan Undang-undang Pengendalian Dampak Rokok Tembakau terhadap Kesehatan. Tapi RUU Rokok ini ditolak.
Pemerintah juga menolak meratifikasi Konvensi Internasional Pengendalian Tembakau (FTCT) yang bertujuan menurunkan konsumsi tembakau.
Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia yang melakukannya.
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan, Yusharmen mengatakan mereka coba mengajukan beberapa aturan kesehatan tapi gagal.
“Kita punya regulasi industri rokok termasuk peringatan kesehatan di bungkusnya. Yang hilang adalah soal sanksi dan penegakan hukum. Tapi banyak pemerintah daerah di Indonesia termasuk Jakarta punya aturan sendiri soal merokok untuk menjaga kesehatan masyarakat. Sejauh ini, Departemen Kesehatan prihatin karena merokok hanya buang-buang uang.”
Kenyataannya, industri rokok adalah bisnis triliyunan rupiah yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Pajak rokok juga menyumbang 10-30 persen pendapatan negara.
Tapi gerakan anti rokok makin lama kian dapat dukungan. Baru-baru ini, Philip Morris International unit Indonesia terpaksa menarik alat-alat promosinya untuk konser Alicia Keys setelah komplain para penyeru gerakan anti rokok.
Beberapa bulan lalu, rumah sakit umum di Jakarta Pusat ini jadi daerah bebas asap rokok. Dan sekarang sebuah tanda “Dilarang Merokok” terpampang di depannya.
Tapi tak jauh dari rumah sakit itu, puluhan warung menjual rokok pada warga miskin kota yang menyia-nyiakan uang dan kesehatan mereka. Sebuah penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, 10 tahun mendatang, 25 persen laki-laki Indonesia akan meninggal karena merokok.
1 komentar:
hal ini memang sangat membahayakan .
Posting Komentar